MASJID Langgar Tinggi. Tidak banyak orang tahu masjid ini. Lokasinya di Kampung Arab, Pekojan, Jakarta Barat.
Bicara tentang Pekojan, nama ini diambil dari kata ‘Khoja’. Sebutan bagi penduduk keturunan India yang menganut agama Islam. Di zaman Kolonial, Pekojan dikenal dengan sebutan Kampung Arab.
Kembali ke Masjid Langgar Tinggi, Travel Diva menyambanginya bersama Komunitas Sejarah dan Budaya Indonesia, Indonesia Hidden Heritage (IHH) di suatu pagi pada Juni 2019. Beda dengan masjid bersejarah lain seperti Cut Meutia, Langgar Tinggi tidak terlihat megah.
Bangunannya pun tidak menyerupai masjid. Melainkan lebih mirip rumah bertingkat dua. Lantai bawah digunakan sebagai tempat wudu. Lantai atas untuk ibadah. Area untuk ibadah di masjid seluas 8×24 meter tidak terlalu luas. Pada sisi kiri dan kanannya terdapat beberapa jendela. Dari jendela itulah area ini bisa mendapatkan pencahayaan alami di siang hari. Namun, karena masjid terletak dekat Kali Angke, aroma tidak sedap dari sana pun kerap tercium saat jendela dibuka.
Di masjid ini terdapat pula toko aneka souvenir khas Arab dan buku agama. Posisinya diapit di antara rumah penduduk. Tidak ada halaman luas untuk parkir di sana.
Arsitekturnya merupakan campuran gaya Eropa Klasik, Tionghoa, dan Melayu. Gaya Eropa Klasik tercermin lewat pilar bundar yang menaungi tangga menuju lantai dua masjid. Sentuhan gaya Tionghoa dapat dilihat dari tiang-tiang kayu penyangga bangunan. Sementara sentuhan gaya Melayu dari Syekh Said Naum terletak pada mimbar masjid di sudut ruangan. Syekh Said Naum adalah pedagang muslim asal Palembang yang memugar Masjid Langgar Tinggi.
Meski penampilannya tidak sekokoh masjid peninggalan Kolonial, Cut Meutia, Langgar Tinggi memiliki sejarah menarik. Didirikan pada 1829, sesuai namanya, masjid ini tadinya adalah langgar. Langgar adalah tempat ibadah sejenis musala. Dibangun oleh Abu Bakar, saudagar muslim dari Yaman. Kemudian dipugar menjadi masjid oleh Syekh Said.
Posisinya yang terletak dekat Kali Angke menjadikan Masjid Langgar Tinggi dulunya sebagai tempat persinggahan saudagar serta pedagang dari Arab dan India. Biasanya, mereka mampir menggunakan sampan melalui Kali Angke, lalu melepas lelah sejenak di Langgar Tinggi. Ya, pada abad ke-19 Kali Angke dikenal sebagai jalur perdagangan di Batavia.
Masjid Langgar Tinggi dulunya juga merupakan tempat syiar agama Islam di Jakarta. Aktivitas yang kerap dilakukan di sana ialah salat lima waktu, pengajian, dan marawis. Sedangkan salat Jumat biasanya di masjid bersejarah lain di Kampung Arab, An-Nawier. Masjid ini jaraknya sekitar 100 meter dari Langgar Tinggi.
Tertarik mengunjungi masjid bersejarah ini? Paradiva dapat menggunakan kendaraan sendiri atau naik commuter dan berhenti di Stasiun Angke. Dari sana perjalanan dapat dilakukan menggunakan bajaj atau taksi daring.