Traveldiva – Sektor pariwisata Jepang tengah menghadapi dinamika baru setelah hubungan politik antara Tokyo dan Beijing kembali memanas. Meski jumlah wisatawan asal China mengalami penurunan tajam, para pelaku industri di Jepang tampak tidak goyah. Mereka menilai kondisi ini belum mengguncang aktivitas bisnis, terutama karena kunjungan wisatawan lokal justru meningkat.
Salah satu contoh datang dari Shiina Ito, pengusaha perhiasan di kawasan wisata Asakusa, Tokyo. Biasanya, toko perhiasan yang ia kelola dipadati pembeli dari China bahkan bisa mencapai separuh dari total pelanggan setiap harinya. Namun, sejak pemerintah China mengeluarkan peringatan perjalanan ke Jepang, jumlah wisatawan dari Negeri Tirai Bambu menurun drastis.
Walaupun begitu, situasi ini tidak membuat Ito cemas. Menurutnya, berkurangnya kerumunan turis asing justru membuat pelanggan lokal lebih leluasa berbelanja. “Karena saat ini jumlah pelanggan China lebih sedikit, pembeli Jepang menjadi lebih mudah untuk berkunjung. Jadi penjualan kami tidak terlalu turun,” ujar sang manajer toko, dikutip AFP pada Minggu (23/11/2025).
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan pada wisatawan China di Jepang memang besar, namun tidak serta-merta membuat sektor pariwisata kolaps saat terjadi penurunan. Wisatawan China selama ini dikenal sebagai pembeli yang royal. Mereka kerap menghabiskan dana besar untuk makanan, produk kecantikan, pakaian, hingga barang-barang desainer. Tak heran jika banyak hotel, toko ritel, hingga apotek menyediakan layanan khusus berbahasa Mandarin. Bahkan beberapa department store memasang papan petunjuk dalam bahasa China untuk memudahkan navigasi para wisatawan.
Namun, perubahan situasi politik membuat arus wisatawan dari China melambat. Pemerintah China sebelumnya mengimbau warganya agar menghindari perjalanan ke Jepang setelah Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, menyatakan bahwa Tokyo siap melakukan intervensi militer jika Taiwan mendapat serangan. Pernyataan ini memicu ketegangan baru antara kedua negara, yang kemudian berdampak pada sektor pariwisata.
Meski begitu, beberapa pengusaha tetap yakin dengan kondisi pasar lokal. Di distrik mewah Ginza, Yuki Yamamoto, manajer sebuah restoran udon yang terkenal di Instagram, menyampaikan hal serupa. Ia mengaku penjualan di restorannya tetap stabil meskipun wisatawan China mulai berkurang. “Saya rasa tidak ada perubahan mendadak atau dramatis. Tentu saja, jika pelanggan menurun, itu mengecewakan. Namun pelanggan Jepang masih datang secara teratur, jadi kami tidak terlalu khawatir,” ujarnya.
Jepang selama ini memang menjadi tujuan favorit wisatawan China. Dalam sembilan bulan pertama tahun 2025 saja, tercatat hampir 7,5 juta wisatawan China masuk ke Jepang, atau sekitar 25 persen dari total kunjungan internasional. Dengan nilai tukar yen yang melemah, wisatawan China semakin tertarik berbelanja karena harga dianggap lebih bersahabat. Pada kuartal ketiga, mereka tercatat menghabiskan sekitar USD 3,7 miliar untuk berbagai kebutuhan saat berlibur.
Tren tersebut juga masih terlihat tahun sebelumnya. Data Organisasi Pariwisata Nasional Jepang mengungkapkan bahwa pada 2024, rata-rata wisatawan China menghabiskan 22 persen lebih banyak dibandingkan wisatawan dari negara lain. Belanja besar ini menjadikan mereka salah satu motor penggerak utama bisnis ritel dan perhotelan di Jepang.
Namun angka-angka besar tersebut ternyata juga membawa dampak lain: kekhawatiran terhadap overtourism. Tahun lalu, Jepang mencatat rekor kunjungan wisatawan internasional sebanyak 36,8 juta orang. Ledakan jumlah wisatawan ini telah membuat banyak warga Jepang merasa aktivitas sehari-hari mereka terganggu mulai dari padatnya transportasi publik, antrean panjang di tempat wisata, hingga naiknya biaya hidup di beberapa kota.
Dengan menurunnya turis China, sebagian warga Jepang justru merasa kondisi kota lebih nyaman. Hal ini menjadi peluang bagi pelaku usaha lokal untuk kembali menjangkau pasar domestik. Selain itu, perubahan ini juga membuka diskusi baru mengenai pentingnya keseimbangan antara wisatawan domestik dan mancanegara dalam keberlanjutan industri pariwisata.
Di sisi lain, pemerintah Jepang perlu memastikan bahwa sektor pariwisata tetap sehat di tengah ketegangan geopolitik. Ketergantungan yang terlalu besar pada satu negara asal wisatawan terbukti riskan. Oleh karena itu, strategi diversifikasi pasar misalnya memperkuat promosi ke negara-negara Asia Tenggara, Australia, dan Eropa menjadi semakin penting.
Meskipun tantangan tetap ada, para pelaku industri pariwisata Jepang tampak lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan ini. Mereka memanfaatkan momentum untuk menarik lebih banyak wisatawan domestik sambil menunggu situasi internasional kembali stabil. Dengan pendekatan ini, sektor pariwisata Jepang menunjukkan ketahanan yang cukup kuat meski diterpa ketegangan politik regional.











