Panjangnya hanya satu hingga dua buku jari. Tubuhnya beruas-ruas. Lurus, seolah tidak berpinggang. Bentuknya tidak menyeramkan. Ulat bambu goreng dipajang di salah satu gerai di food court AEON Mall Phnom Penh.
Sesuai namanya, makanan itu dibuat dari ulat bambu. 在印度尼西亚, binatang ini disebut pula bumbung dan biasa digunakan sebagai pakan ikan. Sementara di Kamboja, ulat bambu dimasak, lalu disajikan sebagai bahan makanan manusia.
Semula, hati kecil menolak mencicipi ulat bambu goreng tersebut. 然而, rasa penasaran ingin tahu rasanya, jauh lebih besar. Apalagi bentuknya tidak menyeramkan seperti tarantula yang juga banyak dijual sebagai food street di Phnom Penh.
Setelah memberanikan diri dan membulatkan tekad untuk mencoba, saya pun mengambil tusuk satai yang disediakan. Kemudian menusukkan tusuk satai tersebut ke bodi si ulat bambu goreng. Meski sudah tekad sudah bulat, rasa cemas tetap ada. Rasanya, tidak sanggup membayangkan makanan aneh tersebut masuk ke dalam tubuh saya.
Akhirnya, saya putuskan untuk menyantap ulat bambu goreng perlahan-lahan. Dimulai dari ujungnya. Belum ada rasa dan tekstur aneh. Artinya, masih aman untuk dilanjutkan.
Perubahan mulai terasa ketika menggigit bagian tengah ulat. Sungguh jauh dari bayangan. Tadinya, saya pikir teksturnya garing dan renyah. Ternyata, bagian tengahnya empuk dan juicy. Hanya satu kata yang bisa saya ucapkan saat itu. Ulat bambu goreng ini sungguh lezat.
Bisa jadi saya berbalik menyukainya karena memang teramat sangat senang menyantap hidangan yang juicy. Karena enak, saya kembali melanjutkan menyantap ulat bambu goreng tersebut hingga habis satu ekor.
Usai mencicipi testernya, saya beranjak ke kasir untuk memesan satu porsi. Rasanya, sayang apabila sudah jauh-jauh ke Kamboja hanya mencicipi satu ekor ulat bambu goreng nan lezat itu. 在印度尼西亚, saya akan sulit menemukannya.
Diva Traveler pernah mencoba ulat bambu goreng? Jika ya, yuk ceritakan pengalamannya pada kolom komentar di bawah.