BUS TransJakarta merapat ke pemberhentian terakhir, Halte Kota. Seperti biasa, halte ini tidak pernah sepi. Penumpang berseliweran. Di sejumlah sisi halte, terjadi transaksi dagang.
Pedagang makanan hingga pakaian memang banyak di sana. Di depan saya tampak lorong dan tangga. Sedikit berdesakan, saya pun menyusuri lorong tersebut kemudian menapaki anak tangga di depannya.
Tujuan akhir saya adalah Museum Bank Indonesia. Ini adalah titik kumpul peserta tur ‘Wall of Batavia – Batavia by Bike’ yang diadakan Indonesia Hidden Heritage (IHH). Untuk menuju ke sana, saya harus berjalan kaki terlebih dahulu ke dekat Museum Bank Mandiri. その後, melanjutkan perjalanan ke Museum Bank Indonesia.
Dari kejauhan terlihat bangunan kuno bercat putih. Bangunan berplafon tinggi itu tampak kokoh. Tiang-tiangnya kelihatan gagah. Ciri khas bangunan peninggalan Kolonial Belanda. Saya berjalan seorang diri menuju ke arah bangunan tua itu.
Hari itu, Sabtu siang di bulan Januari, banyak orang pelesir ke Kota Tua. Mereka memadati kawasan berjulukan Permata Asia itu. Setelah berjalan kaki, saya tiba di Museum Bank Indonesia. Beberapa peserta tur telah sampai lebih dulu. Siang itu saya bersama pengurus IHH lain bertugas memandu mereka mengeksplorasi Kota Tua.
“Siang, teman-teman,” saya menyapa.
“Siang, Mbak Wulan,” kata salah seorang peserta.
Usai saling sapa, kami berbincang sejenak sembari menunggu semua peserta tiba.
1,5 Jam di Museum Bank Indonesia
Kami berbincang sejenak sembari menunggu semua peserta tiba. Setelah 25 peserta hadir, eksplorasi Kota Tua atau Batavia Lama pun dimulai. Eksplorasi dimulai dari Museum Bank Indonesia.
Beberapa hari sebelum tur dimulai, IHH terlebih dahulu mengirim surat pemberitahuan kunjungan kepada pihak Museum Bank Indonesia dan kami mendapat tiket gratis. Berbekal tiket gratis itu kami memasuki museum didampingi seorang pemandu dari pihak museum.
Pemandu itu adalah pria ramah, cekatan, humoris dan selalu tanggap menjawab pertanyaan anggota komunitas. Cagar budaya peninggalan De Javasche Bank itu berdiri tegak di tengah kawasan Kota Tua. Di gedung berlantai 2 itu pengunjung akan mendapat tambahan wawasan seputar ekonomi, moneter dan perbankan. Komunikasi publik tentang kebijakan BI juga banyak dilakukan di sana.
Hampir 1,5 jam kami menikmati setiap jengkal ruangan dan koleksi Museum Bank Indonesia. Selama tur berlangsung, wajah puas dan riang terpancar dari seluruh peserta. Usai menjelajahi museum, saya dan pengurus IHH lain memberikan snack dan minuman ringan kepada para peserta.
Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri sisa Wall of Batavia di bagian belakang museum, dekat lapangan parkir. Meski tertutup kaca, saya dan seluruh peserta dapat melihat reruntuhan tembok yang dahulu membentengi Kota Batavia.
Tidak banyak pengunjung mengetahui tembok ini karena posisinya di tersembunyi di bagian belakang kawasan Kota Tua. Pun, tidak banyak informasi mengenai reruntuhan benteng tersebut.
Naik Sepeda Ontel
Usai mengeksplorasi reruntuhan benteng, tibalah saat yang ditunggu-tunggu peserta. Menyusuri Kota Tua menggunakan sepeda tua, ontel.
Lebih dari 25 pengendara ontel telah menanti kami untuk mengantarkan kami berkeliling. Keriuhan terjadi akibat antusiasme peserta yang begitu tinggi untuk naik ontel. Tidak sedikit peserta yang tidak sabar ingin segera naik sepeda tua itu.
Tawa riang peserta terdengar selama kami konvoi menggunakan ontel. Ada peserta yang baru pertama naik ontel dan merasa waswas. Peserta lain hanya tertawa melihat kepanikannya. Ada pula peserta yang sibuk mengabadikan setiap sudut kota dengan kamera atau ponselnya. Pemberhentian pertama kami adalah Museum Bahari.
Semilir angin menemani kami saaat sepeda melaju. Kami juga berkunjung ke Menara Syahbandar atau Uitkijk yang dibangun pada 1839. Syahbandar adalah menara pemantau untuk mengawasi kapal-kapal yang keluar masuk Batavia melalui jalur laut. Saat itu peserta dibagi menjadi 3 kelompok agar dapat naik ke atas menara secara bergantian. Menara tidaklah besar sehingga tidak mungkin 25 peserta naik sekaligus.
Penyusuran Menara Syahbandar berakhir setelah semua peserta selesai turun dari menara. Waktunya melanjutkan perjalanan. Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi destinasi kedua menggunakan ontel. Tidak sedikit peserta lupa dengan sepeda dan wajah pengendaranya.
Ada yang naik ontel berbeda dan baru tersadar ketika penumpang aslinya menghampiri. Hal ini membuat mereka merasa geli sendiri dan akhirnya tertawa lepas. しかし, akhirnya semua berjalan lancar dan kami tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa dengan lancar.
Pelabuhan ini telah populer sejak abad 12 dan menjadi salah satu penopang perekonomian Kerajaan Pajajaran. Di sana peserta tampak asik berswafoto dan bercengkrama dengan pekerja-pekerja di atas kapal.
Mengunjung Jembatan Ratu Juliana
Juliana adalah ratu Kerajaan Belanda sejak 1948 それまで 1980. Ia mengakui kedaulatan Indonesia setelah bertemu Mohammad Hatta dalam penyelesaian diplomasi di Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949.
Namanya sempat diabadikan menjadi nama jembatan. Jembatan Ratu Juliana ini menjadi destinasi selanjutnya. Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, perjalanan menghabiskan waktu sekitar 20 menit menggunakan ontel.
Kini, jembatan itu telah berganti nama menjadi Kota Intan. Sejarah jembatan yang dibangun pada 1628 ini cukup panjang. Awalnya disebut Engelse Burg atau Jembatan Inggris. Sempat rusak ketika ada serangan dari pasukan Banten dan Mataram.
Di tahun 1930, pemerintah Belanda membangun kembali jembatan tersebut dan dinamai Hoederpasarburg atau Pasar Ayam. Pada 1655, jembatan diperbaiki dan diberi nama Het Middelpunt Burg atau Jembatan Pusat. Kemudian berganti nama lagi menjadi Jembatan Ratu Juliana saat ia berkuasa. Sejak proklamasi kemerdekaan, jembatan pun diubah namanya menjadi Jembatan Kota Intan sesuai nama lokasinya. Pada awal pembangunannya, jembatan ini terletak persis di ujung kubu atau Bastion Diamond dari Kastil Batavia.
Toko Merah
Dari Jembatan Kota Intan, perjalanan dilanjutkan menuju Toko Merah. Dibangun pada 1730, bangunan tua ini pernah menjadi kediaman Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff.
Nama Toko Merah diberikan berdasarkan fungsinya sebagai toko milik warga Tionghoa, Oey Liauw Kong pada abad ke-19. Pemberian kata merah berdasarkan warna tembok depan bangunan yang bercat merah hati langsung pada permukaan batu bata tak berplester.
Banyak wisatawan berfoto di sana. Saya dan peserta pun turut berfoto sebelum kembali ke titik kumpul di depan Museum Bank Indonesia. Perjalanan menggunakan ontel berakhir di sini dan kami membagikan souvenir kepada pengendara sepeda ontel.
Semua peserta tampak puas dengan tur hari itu. Sebagai pemandu, hal ini tentu membuat kami senang. Sampai jumpa pada kisah perjalanan bersejarah IHH berikutnya, teman-teman!