Indonesia Hidden Heritage Creative Hub (IHHCH) kali ini mengadakan Heritage City Tour yang bertajuk ‘Travel to Portugis Village’ pada Minggu, 4 Januari 2023 lalu. Direktur Eksekutif IHHCH, Nofa Farida Lestari, menyampaikan bahwa Heritage City Tour merupakan kegiatan yang rutin diadakan oleh IIHCH. Kegiatan tur ini juga bertujuan untuk merayakan keragaman warisan sejarah dan budaya, sekaligus upaya promosi dan pengembangan tempat bersejarah sebagai ikon wisata heritage di perkotaan, khususnya Jakarta.

Screenshot 20230104 083744 Instagram

Di awal tahun 2023, Heritage City Tour IHHCH ini mengusung tema menelusuri jejak sejarah kaum Mardijkers Portugis di Jakarta, yang merupakan salah satu komunitas tertua yang mewarnai sejarah panjang kota Jakarta. Perjalanan dimulai dari Gereja Sion, kemudian berlanjut ke Museum Kesejarahan Jakarta, dan terakhir mengunjungi kampung Tugu. Dalam tur kali ini, para peserta dipandu langsung oleh Ary Sulistyo, Direktur Riset dan Pengembangan Warisan Budaya IHHCH. Ary menceritakan berbagai peristiwa sejarah terkait dengan sejarah kaum De Mardijkers atau yang biasa dikenal Portugis Hitam, serta melalui bangunan-bangunan bersejarahnya yang dikunjungi, salah satunya adalah gereja.

Perjalanan tur IHHCH dimulai dari gereja tertua di Indonesia bahkan Asia, yaitu Gereja Sion, yang berdiri sejak tahun 1695. Hingga saat ini, bangunan Gereja Sion masih menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang kerap dikunjungi oleh para pecinta sejarah dan traveller. Saat ini gereja masih digunakan oleh para jemaatnya untuk kegiatan ibadah. Gereja Sion sendiri dulunya bernama Portugeesche Buitenkerk, yang berarti Gereja Portugis di Luar Tembok Kota. Namun sebelumnya terdapat Gereja Portugis di Dalam Tembok yang berada di antara Roa Melaka dan Jalan Kopi, そして dibangun 1673. Gereja tersebut terbakar tidak bersisa pada tahun 1808. Pembangunan Gereja memakan waktu sekitar dua tahun ini, yang peletakkan batu pertamanya pada 19 10月 1693 oleh Pieter van Hoorn, yang tidak lain adalah ayah dari Joan Van Hoorn, Gubernur Jenderal VOC (1653-1711).

Pergantian nama juga beberapa kali terjadi pada Gereja ini. Setelah kemerdekaan Indonesia, Portugeesche Buitenkerk berganti nama menjadi Gereja Portugis. それから, peralihan kekuasaan membuat Pemerintahan Belanda memberikan kepercayaan pengelolaan aset peninggalannya kepada Gereja-Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Letak Bangunan yang berada di wilayah Barat Jakarta membuat wilayah pelayanan diemban oleh Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB). Hal tersebut yang menjadikan gereja ini dinamakan GPIB Jemaat Sion atau biasa disebut Gereja Sion. Nama Sion sendiri diambil dari nama Bukit Sion di wilayah Palestina. Bangunan yang sudah berusia lebih dari 300 tahun ini, tidak hanya menjadi tempat untuk beribadah bagi umat Kristen Protestan, namun, juga telah menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang kerap dikunjungi oleh turis domestik maupun internasional.

Kegiatan tur berlanjut ke Museum Kesejarahan Jakarta. Ary menjelaskan bahwa bangunan ini dahulu digunakan sebagai gedung Balaikota atau Stadhuis. Di dalam bangunan ini para peserta tur diajak berkeliling untuk melihat berbagai artefak-artefak masa lalu, seperti mebel, alat timbangan, batu-batuan, keramik, peta, buku-buku, dan masih banyak lagi. Museum ini memberikan nuansa rekreasi menarik yang dibalut dengan pengetahuan-pengetahuan akan perkembangan kota Jakarta sejak masa prasejarah, masa Hindu-Budha, masa Islam, masa kolonial, hingga masa kini.

Perjalanan berakhir pada kampung Tugu di kawasan Jakarta Utara, dengan mengunjungi Gereja Tugu dan melihat festival tradisi mande-mande. Sesampainya di Gereja Tugu, peserta disambut oleh salah satu pengurus Gereja yang menjelaskan terkait sejarah bangunan peninggalan bangsa Portugis ini. Pengurus Gereja menyampaikan bahwa saat ini Gereja sedang dalam proses revitalisasi setelah dua tahun tertunda akibat pandemi. Proses revitalisasi ini dilakukan untuk merawat bangunan cagar budaya agar terjaga keasliannya.

Salah satu spot menarik dari Gereja Tugu ini adalah makam kuno di bagian halaman gereja, disini terdapat pula makam tertua dari salah satu pendeta dan makam leluhur keluarga Andries. さらに, berjalan sedikit ke dalam kawasan gereja, kita akan menemukan tugu lonceng (klokkenstand) yang digunakan sebagai penanda dimulainya ibadah. Kampung Tugu sendiri dijuluki sebagai Kampung Betawi Kristen, karena banyak masyarakatnya merupakan keturunan kaum Mardijkers Portugis, yang dulu beralih dari Katolik memeluk Protestan untuk mendapatkan kemerdekaannya dari Belanda. Gereja Tugu sendiri pada sekitar tahun 1970 an akhirnya diresmikan sebagai bangunan cagar budaya oleh Gubernur DKI Jakarta Bapak Ali Sadikin.


Perjalanan kemudian ditutup menyaksikan tradisi mande-mande, yang diramaikan oleh orang-orang Kristen Protestan Kampung Tugu serta masyarakat sekitar. Tradisi ini masih bertahan hingga sekarang dan sudah menjadi warisan budaya tak benda dari Provinsi DKI Jakarta. Tradisi ini biasanya dilakukan pada awal minggu pertama tahun baru. Pada acara kali ini turut dihadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Bapak Iwan Wardhana, Sejarawan Bapak Bondan Kanumoyoso dari UI, dan sejumlah tokoh lainnya. Prosesi mande-mande ini dilakukan dengan mencorengkan bedak ke muka orang lain, yang melambangkan saling memaafkan, mengasihi, dan berbuat baik antar sesama. Acara juga dimeriahkan dengan adanya suguhan kuliner khas kampung tugu seperti gado-gado siram dan pisang udang serta nyanyian keroncong tugu yang khas.

Lebih lengkap tentang IHHCH silahkan mengunjungi: https://linktr.ee/IHH_Hub

Media and Community Officer
Syafa Khalisha Ifadha
email: indonesiahiddenheritage@gmail.com
Menara Cakrawala Lt 12 Suite Infiniti Office 1205
Jl MH Thamrin No 9 Jakarta Pusat 10340

返事を書く

あなたのコメントを入力してください
ここにあなたの名前を入力してください