SATU jam perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, menuju Bandara Sultan Baddaruddin II, Palembang. Pagi itu, Senin, 8 Oktober 2021, saya dari Travel Diva, Founder Indonesia Hidden Heritage (IHH) sekaligus Ketua Pemajuan Heritage di Indonesia, Nofa Farida Lestari dan empat anggota Tim Pendiri Museum Bappenas yang dikoordinatori Ismet Mohamad Suhud dari Kementerian PPN/Bappenas terbang ke kota berjulukan Venesia dari Timur itu menggunakan burung besi. Tujuannya adalah berburu jejak sejarah Pahlawan Nasional yang juga founding father Bappenas, Adnan Kapau Gani yang lebih dikenal dengan nama AK Gani. Hasil perburuan ini akan dikurasi sebagai koleksi Museum Bappenas yang rencananya akan didirikan di Jakarta.
Kami berangkat dengan penerbangan berbeda. Travel Diva terbang pukul 9 pagi dengan Super Air Jet dari Bandara Soekarno-Hatta. Nofa dan Tim Pendiri Museum Bappenas masing-masing berangkat pukul 10 pagi dan 11 siang memakai Garuda Indonesia dan Batik Air dari Bandara Soekarno-Hatta serta Bandara Halim Perdana Kusuma.
Super Air Jet yang ditumpangi Travel Diva terbang tepat waktu. Sesaat setelah take off, dari atas pesawat tampak gugusan awan putih. Sepuluh menit jelang mendarat, terlihat bentangan rumput hijau dari balik jendela pesawat. Hari itu cuaca cerah. Sang burung besi juga mendarat dengan mulus di tanah Palembang.
Keluar dari garbarata, penumpang disambut dengan mural dan teks berisi storytelling tentang sejarah Palembang serta petunjuk mengenai destinasi wisata yang bisa dikunjungi.
Bandara Terpanas
Sultan Baddaruddin II adalah bandara internasional. Udara panas segera menyapa sesaat setelah tiba di bandara. Dari semua bandara yang pernah saya kunjungi di dalam dan luar negeri, ini adalah bandara terpanas.
Sebelum keluar dari pintu kedatangan, petugas meminta saya mengisi formulir e-HAC melalui aplikasi Peduli Lindungi. Gagal, karena nomor induk kependudukan atau NIK saya tidak terdaftar. Akhirnya petugas membantu mengisi formulir secara manual. “Bilang saja sudah dibantu petugas,” katanya memberi petunjuk agar saya dapat melenggang keluar pesawat dengan lancar. Benar saja. Cukup dengan kalimat “sakti” tersebut, saya bisa keluar tanpa ditahan petugas lainnya.
Hawa panas terasa menyeruak saat saya keluar dari bandara. Saya menyempatkan mampir sebentar di ATM yang terdapat di sisi kanan pintu keluar. Sama seperti udara di bandara, ruangan ATM juga terasa panas. Keluar dari ATM, saya langsung mencari kafe untuk nongkrong sembari menunggu kedatangan rombongan berikutnya.
Icip-Icip Pempek di Bandara
Belum banyak kafe buka di bandara ini. Tebakan saya, pandemi telah membuat sejumlah kafe terpaksa menutup gerainya. Di sebelah ATM hanya ada gerai Roti ‘O’. Saya pun melempar pandangan ke seberang. Ternyata ada deretan gerai pedagang pempek di sana. Dan, di bagian ujung terdapat sebuah food court. Pilihan jatuh pada gerai Pempek Nony 168 karena tidak ada pengunjung di sana. Pandemi membuat saya sedikit tidak nyaman apabila berada di tempat yang penuh orang.
Mengingat 2 jam lagi makan siang, saya hanya mencicipi 2 buah pempek berukuran mini. Satu pempek kulit, satu lagi adaan. Adaan di sini gurih dengan rasa santan yang cukup kuat. Tidak banyak pilihan minuman, hanya ada air mineral merek Aqua dan air teh bertuliskan Teh Pucuk Harum. Saya memilih minum air mineral.
Tidak ada AC di gerai Pempek Nony dan juga gerai-gerai makanan lain. Kebanyakan gerai makanan di Bandara Sultan Badaruddin II hanya dilengkapi kipas angin. Untuk mengurangi rasa gerah, saya arahkan kipas angin yang sedikit kotor itu ke arah tubuh saya. Keringat mulai bercucuran membasahi kemeja biru saya.
Usai mencicipi pempek nan lezat, saya berpindah ke ruang tunggu yang terdapat di bagian luar bandara. Sekitar 20 menit kemudian berpindah ke Ruang Informasi. Ruangan ini terasa begitu sejuk karena dilengkapi AC dengan udara dingin sempurna. Dan, petugas di sana dengan ramah mempersilakan saya menunggu rombongan sembari ‘ngadem’ di dalam ruangan.
Sejam di ruangan ini, rombongan yang terbang dengan Garuda Indonesia tiba. Kami bertemu di depan Ruang Informasi, kemudian bersama-sama menuju gerai Roti ‘O’ untuk menunggu rombongan berikutnya yang menggunakan Batik Air. Sekitar pukul 12 siang, rombongan terakhir mendarat di Sultan Badaruddin II.
Santap Siang Pindang Patin
Siang itu, kami berenam dijemput perwakilan dari Bappeda dan diantar ke Hotel Bantiqa di Jalan Kapten Rivai Nomor 219, 26 Ilir, Palembang menggunakan satu mobil. Sebelum tiba di hotel, kami bersantap siang terlebih dahulu di Rumah Makan Pondok Kelapo di Jalan Demang Lebar Daun Nomor 184. Menu utama resto ini adalah seafood dan pindang. Saat itu, kami kompak memilih menu khas Palembang, Pindang Patin.
Pondok Kelapo adalah rumah makan Palembang rasa Bandung. Resto ini menyediakan saung dengan dua pilihan, makan sambil duduk di kursi atau lesehan. Indoor plants meneduhkan udara Palembang yang panas. Pondok Kelapo merupakan destinasi kuliner yang nyaman, terutama bagi rombongan. Area parkirnya luas. Begitu pula dengan area makannya. Kayu-kayu dan bambu warna gelap dan kursi anyaman membuat suasana kian terasa teduh sehingga aktivitas bersantap menjadi lebih nyaman.
Pindang patin ala Pondok Kelapo hadir dengan kuah hangat yang menggoda. Disajkan dalam wadah stainless steel sehingga kehangatannya terjaga. Cita rasa kuahnya asam pedas dengan sentuhan gurih. Rasa asamnya berasal dari potongan nanas yang memang banyak dijumpai di Palembang. Kuah dibuat harum dengan taburan daun kemangi segar. Ikan patin untuk pindang dipotong menjadi tiga bagian. Kepala, tengah dan ekor. Bagian kepala merupakan pilihan terbaik bagi pencinta lemak. Butuh ketekunan untuk membongkar bagian kepala. Mulai dari mata, mulut, hingga otak. Momen menyeruput otak dan mata ikan merupakan bagian paling menyenangkan bagi pencinta kepala ikan. Sementara pencinta daging ikan yang tebal dan juicy sebaiknya memilih bagian tengah.
Koki di resto ini sungguh pandai meracik pindang patin. Di tangannya, ikan patin pada pindang tidak terasa amis. Pelayanannya juga sigap melayani. Suatu saat, jika kembali ke Palembang bersama rombongan, saya akan mengajak mereka bersantap di sini karena demi mendapatkan semangkuk kenikmatan pindang patin, tamu tidak perlu menunggu lama.
Makan Malam Pempek Candy
Usai santap siang, kami diantar ke hotel. Istirahat sampai sore. Ketika malam tiba, kami berenam berjalan kaki ke Pempek Candy yang lokasinya tidak jauh dari Bantiqa. Begitu banyak varian pempek di sini.
Kami memesan paket lengkap untuk disantap bersama. Tidak pakai lama, pesanan tiba. Pempek pesanan kami diletakkan di piring beralaskan daun. Isinya lengkap, ada adaan, pistel, kapal selam, keriting, kulit dan lenggang. Kami menikmati pempek Candy ini mengikuti cara orang Palembang. Cuko dituang ke mangkuk kecil, lalu diseruput sembari menyantap pempek. Kuah pempek di sini sudah terasa pedas meski belum dicampur dengan sambal. Santap malam Pempek Candy menjadi penutup aktivitas kami pada hari pertama kunjungan kerja ke Palembang. Karena letaknya dekat hotel, saya memutuskan untuk kembali ke sini bersantap sekalian membeli oleh-oleh pempek untuk dibawa pulang ke Jakarta.
Santap malam Pempek Candy menjadi penutup aktivitas kami malam itu.