SUARA orang bercakap-cakap terdengar di bagian belakang rumah Suyadi (45), petani tembakau di Lamuk Legok, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung, جاوة الوسطى. Suatu sore pada awal September 2023 itu, ia tengah berbincang-bincang dengan ayah, ibu, istrinya yang bernama Siti Rokhmah, dan petani tembakau Lamuk Legok lainnya, Sholeh.
Di ruangan berukuran sekitar 20 meter persegi tersebut terlihat sebuah mesin perajang daun tembakau. Bentuknya kotak, dan terdapat sebuah pisau. Gunanya pisau ialah untuk memotong daun bako, sebutan para petani Temanggung untuk tembakau.
“Pak, ini bagaimana cara memakainya?” tanya saya kepada Suyadi yang biasa dipanggil Pak Yadi, dan Sholeh. Sholeh kemudian bangun dari sofa berbahan oscar yang sebagian terkelupas terkena cakaran kucing. Sebelum melangkah ke arah mesin perajang, Sholeh terlebih dahulu meletakkan iPhone 14 miliknya, smartphone besutan Apple yang terbaru.
Pertama-tama, ia mengambil beberapa lembar daun bako, kemudian menggulungnya. بالإضافة إلى, daun berwarna hijau keemasan itu diletakkan di mesin dan didorong maju ke arah pisau perajang. Hasil rajangan langsung terjatuh ke bawah. Terdapat dua jenis rajangan, yakni lembutan dan kasar.
Petani bako di Temanggung telah lama memproduksi lembutan untuk rokok lintingan. Lembutan yang dikenal pula dengan istilah tembakau iris dan tingwe (linting dewe) ini menjadi penolong mereka di kala serapan tembakau oleh pabrik besar melemah. Irisan daun bako tersebut kemudian dijemur di lantai tiga rumah Yadi.
Berawal dari Sebatang
Ngobrol-ngobrol sore itu dibarengi dengan aktivitas melinting rokok bersama. Asap tingwe tak henti-henti mengepul dari mulut Yadi dan Sholeh. Istri Yadi yang duduk di sebelah saya, terlihat asik merapikan lembutan kering siap linting.
Travel Diva pun tergelitik bertanya. “Bu Yadi juga merokok?” Ketua Komunitas Perempuan Petani Tembakau Lamuk Legok itu menjawab dengan ramah, “Iya, Mba. Tapi sesekali saja. Seperti ini, kalau sedang kumpul.”
“Enak ya, rokoknya?” tanya saya penasaran. “Ya enak, Mba. Ini sehat tho. Karena adanya herbalnya juga, cengkeh,” sambar Yadi.
Saya bukan perokok. لكن, sebagai penggemar cengkeh, saya penasaran penasaran dengan kehangatan cengkeh yang dipadukan dengan bako dari Lamuk Legok ini. Saya ambil cengkeh bubuk di atas meja. لذا, saya hisap aromanya. “Luar biasa wangi dan segar. Beda dengan cengkeh yang biasa saya beli di Jakarta,” celetuk saya.
“Mbak, biasanya beli cengkeh yang masih bentuk biji tho? Kalau ini, sudah dirajang. Lebih fresh,” kata Yadi.
Karena mendapat penjelasan bahwa rokok linting ini berbahan herbal, saya pun tergelitik mencobanya. Yang terbayang di benak adalah menghisap aroma wedang hangat. Dibantu istri Yadi, saya belajar melinting rokok sendiri. Pertama-tama, saya mengambil dua lembar kertas rokok. ثم, saya letakkan lembutan di atasnya, dan dilanjutkan dengan menaburkan cengkeh. أخير, saya linting. Bagian terakhir ini susah-susah gampang.
Hisapan pertama, gagal. Rokok mati. أخيراً, seorang teman dari Jakarta, membantu menghisapkan. Untuk kemudian, saya lanjutkan. اتضح, aromanya persis seperti yang saya bayangkan. Wangi cengkehnya terasa dan terasa hangat di tenggorokan.
Seni menikmati tingwe, setiap lintingan berbeda cita rasa dan aromanya. Karena, takaran bako dan bubuk cengkeh yang saya ambil tak pernah sama. Jika ingin hangat, komposisi bubuk cengkeh dapat diperbanyak.
Tak terasa, 3 batang tingwe saya hisap. Dan, tenggorokan saya sama sekali tidak merasakan gatal. Yang tersisa hanyalah rasa hangat di tenggorokan. Layaknya ketika saya melahap permen pelega nafas.
Lamuk Legok, tempat Yadi dan Sholeh bercocok tanam bako adalah salah satu daerah penghasil tembakau di Temanggung. فريد, beda daerah, beda pula aroma dan rasa tembakaunya. Tidak percaya? Kalau begitu, ayo menjelajahi Kota Tembakau, Temanggung, di akhir pekan atau waktu libur Paradiva.